Kamis, 20 Maret 2014

Naskah Monolog "Perempuan Gila"

Ini adalah naskah monolog "Perempuan Gila" karya Chaerul Ashar Hamid yang saya bawakan saat study banding di UPI.



(Monolog) Perempuan gila
(Chaerul Ashar Hamid)

Naskah ini terinspirasi dari :
-          Drama Monolog “Tolong” karya Nano Riantiarno
-          Cerpen “Tragis” Karya Chaerul Ashar Hamid @www.sastrahitamputih.blogspot.com


(panggug dalam keadaan terang.)
(seseorang masuk ke panggung)
(bertingkah orang gila, cerita sana sini tak karuan=ngalor ngidul.)
(Spot Light di sudut panggung menyala, Spot Light ini akan terus berpindah lokasi untuk Spot Light berikutnya. Jatuhnya cahaya tidak selalu di tempat yang sama.)

“siapa di sana...???”
“kau lagi...???”
“sejak kapan kau ada di sana...???”
“hhahahahahaha...”

(suara keramaian kota, deru mobil, klakson kendaraan, dan sirene.)
(ketakutan.)
(orang lain berseru...)


“Orang gila...”
“Orang gila...”

(suara anak-anak mengolok)

“orang gila...orang gila...”

(menjadi ling-lung, berjalan ke sana ke mari, tak tahu arah.)

“apa...???, kalian mau apa...???”
(ketakutan.) “jangan ganggu aku...pergi sana...pergi...”
“hus...hus...hhahahaha, hus...hus...jauh dariku, pergi sana...”

(Spot Light di sudut panggung yang lain menyala, sedang Spot Light yang tadi padam.)
“siapa di sana...???”
“kau lagi...???”
“apa yang kau mau...???”

(berjalan ke arah cahaya.)
(seolah menyentuh, dan berlari ke tempat semula dengan ketakutan.)

/“apa lagi yang kau mau...???”
“sudah tidak ada apa-apa lagi yang bisa aku berikan. Seluruh hartaku telah engkau rampas. Kau tahu...??? aku telah gila karena kau, aku telah gila karena uang, dan aku telah gila karena biaya hidup di negri ini.”

(menatap cahaya, dan menunjuk ke arah cahaya itu.) “mengapa kau hanya diam saja...???”
“kau sama seperti mereka kan...??? kau sama seperti mereka yang duduk berleha-leha di meja para Elit...???”
“iya kan...??? iya...???”
“hei...aku bicara padamu...!!!”

(orang lain berseru...)

“Orang gila...”
“Orang gila...”

(suara anak-anak mengolok)

“orang gila...orang gila...”
                                                          
(diam sejenak)

“Aku tidak percaya, aku tidak percaya kalau kau bukan salah satu dari mereka, buka topeng busukmu. Aku bukan lagi perempuan biasa yang bisa kau tipu daya dengan uang. Kau ingat...??? kau ingat...??? ketika aku harus berjuang menghidupi anakku semata wayang, aku harus berjuang membiayai sekolahnya, kau tahu apa yang kulakukan...??? (marah.) kau tahu apa yang kulakukan...??? aku menjadi jalang, aku melacur, aku rela diobrak-abrik oleh mereka penikmat sesaat. Itu karena rekan-rekanmu, rekan-rekanmu yang berpoles muka di meja Elit. Pendidikan yang kian mahal, dan aku yang semakin menderita karena tidak punya ijasah. Aku hanya orang desa yang mengadu nasib di kota ini, tapi hasilnya apa...??? hasilnya apa...??? KOSONG belaka.”

(Spot Light padam)

“kau kemana...???”
“apa kau lari dari kenyataan...???”
“kemana kau pergi...???”
“hei...kau seperti pengecut...”
“kembali kau...”

(duduk lesu.)
“kau sama saja dengan mereka yang telah sibuk dengan uang korupsi mereka, mengambil yang bukan haknya, lalu menghilang. Alasannya berobat ke singapura, padahal hanya bersantai dan mencuci uang mereka di sana. Membeli ini lah, membeli itu lah...apa saja di belinya. Tak tahu apa, kalau orang-orang seperti ku butuh biaya hidup.”

(berlagak seperti laki-laki dan seolah merokok, dan berbicara dengan dialek Batak)

“akh...seperti artis saja kau liburan, kau itu punya tanggung jawab bung. Jangan serakahkan uang yang bukan hak kalian. Sudah mengambil uang rakyat, kau pergi foya-foya pula. Main golf sana sini, eh kecantol juga kau sama cewek. Sudah serakah uang, serakah perempuan pula. Kalau ada bukit emas, aku yakin, aku yakin, kalian semua akan berlomba-lomba menduduki puncaknya.”

“seperti belang-nya para Elit. Berlomba-lomba menikahi kedudukan yang bisa menghasilkan uang banyak, sembunyikan sana sini dan berkilah dengan mengkambing hitamkan orang lain. Kalau sudah berbuat, jangan sembunyi tangan.”

(seperti menyesali ucapannya barusan.)

“Tapi...semuanya kan butuh uang, apa-apa uang, sedikit-sedikit uang. Apa sih di dunia ini yang tidak dibayar dengan uang...???”

“WANI BIRO...”

(kembali suara keramaian kota.)
(olok-olokan dari orang lain dan juga anak-anak.)

“orang gila...orang gila...”
“orang gila...orang gila...”
“hei...ada orang gila...”

(ketakutan.)

“aku tidak gila, aku tidak gila, yang gila adalah mereka, aku tidak gila, kalian yang gila. Mereka yang bermain drama diteater politik. Aku tidak gila, aku tidak gila...mereka yang gila, gila harta, gila materi, gila uang, gila kedudukan, gila semua-nya, bahkan gila perempuan.”

(diam, dan bernyanyi-nyanyi kecil, entah sedang menyanyikan apa. Kadang diselingi tawa-tawa kecil.)

(Spot Light kembali menyala di tempat lain.)
(tersenyum sumringah.)

“hei...kau datang lagi”
“bukan kah kau yang tempo hari datang...???”
“bukan kah kau yang memintaku menari telanjang di depan mu...???”
“apa kau mau lagi...???”
(bertingkah genit=nakal.) “ah...sudahlah, tidak usah malu-malu... (menggoda dengan gerak tubuh)

“ayolah...kemari...kita berbicara bantal.”

(menatap cahaya untuk beberapa saat.)

“kau tidak mau...???”
“benar tidak mau...???”
“kenapa...???”
“apa aku tidak cantik lagi...??? aku tidak seksi lagi...???”
 “apa aku harus operasi plastik, agar kau mau padaku ...???”
“akankah kau mau berdesah bantal bersamaku lagi...???”
“ayolah...hanya kita berdua di sini...”
“tidak ada siapa-siapa kok di sini...ayolah...”

(Spot Light padam.)

(heran.)

“kau kemana...???”
“kau pergi juga...???”
“ya sudahlah...mungkin aku memang tidak cantik lagi di matamu,
“tapi kalau kau mau, datang saja ya...!!!”

(bertingkah gila)

“aku tahu kau menghindariku, aku tak secantik dulu. Tunggulah, aku akan mengambil uang dari deposit nasabahku, lalu aku akan mengubah tubuhku. Berapa sih biaya operasi silikon itu...???. tidak seberapa kan...???. lagi pula, uang dari deposit nasabahku masih banyak. Dan dengan uang itu, aku bisa membeli mobil mewah, aku bisa membeli Ferrari, Hammer dan BMW. Bahkan aku bisa membeli harga dirimu...”

(tertawa puas) “hhahahahahahaha... ... ...”

“bekerja di lingkungan pemerintah memang enak, aku bisa berbuat sesuka hatiku. Menutup bank pun aku bisa,  dan uang depositnya bisa aku jarah.” (ke arah penonton) “kalau ada yang bertanya, aku akan berkilah bahwa aku menyelamatkan Rupiah dari Inflasi. Berlagak seperti pahlawan. Ssst, tapi jangan kasi tahu siapa-siapa ya...!!! ini rahasia antara kita saja.”

(duduk, mempermainkan jemari tangan dan kaki, Mengacak-acak rambut, atau beryanyi-nyanyi kecil.)

(seperti berbicara dengan seseorang di sampingnya. Dalam hal ini, tidak menggunakan Spot Light.)

“hei kawan lama...sudah lama aku tidak melihatmu, kamu dari mana saja...??? apa kamu telah keliling dunia...??? tidak...??? lalu kemana...???”

“oh...sabar ya kawan...!!!”

“aku mengerti perasaanmu, memang namamu telah hampir memudar di negeri ini. Tapi kasian kaum sejenismu, hanya bisa disiksa dan dijadikan tenaga kerja yang hanya diupah dengan kekerasan. Andai kau masih hidup, mungkin kita bisa merubah apa yang telah ada di negeri ini. Mereka tidak menghargaimu sama sekali kawan. Kau harus bersabar ya...!!! aku juga tengah berjuang untuk hidupku sendiri.”

(Kepada penonton.) “itu tadi kawanku, kawan seperjuanganku. Kalian kenalkan siapa dia...???”
“kalian tidak kenal...??? betul...??? oh iya, bagaimana aku bisa lupa. Kalian kan hidup di jaman yang serba moderen. Kalian tidak lagi mengenal Pahlawan kalian, dia itu Kartini. Dia datang menemuiku, katanya dia rindu padaku dan menyuruhku untuk tetap bersabar. Tapi, bersabar untuk apa coba...??? aku, perempuan yang sudah tidak ada lagi harganya di negeri ini. Aku berjuang untuk hidup dengan menjadi Pahlawan Devisa, tapi aku malah tidak dihiraukan.”

(seperti menyesali ucapannya yang barusan.) Pahlawan Devisa...??? Pahlawan negeri ini saja sudah tidak ada yang mengingatnya. Semangat, kegigihan dan pantang menyerahnya di medan perang telah lapuk termakan waktu, kering dan layu ditelan badai kemarau yang kian lama kian menghapus kisah dan sejarah mereka. Mestinya kita bercermin pada mereka, bukan membuat cermin itu menjadi retak dan hancur berkeping-keping.”

(duduk, dan diam untuk beberapa saat.)
(Spot Light lain menyala.)

“bu...aku ingin merantau ke negeri orang. Aku sudah capek untuk berusaha di negeri ini, aku tidak bisa berbuat banyak di sini. Aku pun sudah capek dengan menjadi perempuan penghibur, aku sudah capek harus klimaks dengan mereka yang hanya mementingkan diri mereka sendiri. Ibu...aku titip anakku padamu, hanya dia milikku, permataku dan juga masa depanku. Aku akan kirimkan uang setiap bulannya. Hasil dari keringatku di negeri orang, negeriku sendiri sudah tidak mampu membiayai orang-orang seperti diriku.”

“ibu...berikan aku restu dan doa mu...”

(Spot Light yang tadi padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)
(cemas.)

“sudah sekian tahun anakku bekerja menjadi tenaga kerja di negeri orang. Bagaimana kabar dia di sana...??? cucuku pun sudah kian bertambah usia, dan ibunya belum juga datang menjenguknya. Apa yang terjadi dengan dirinya di sana...???”

“ya tuhan...lindungilah anakku di perantauan sana...”

(kembali Spot Light padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)

“ibu...aku pulang, tapi aku tidak membawa hasil apa-apa, aku hanya mmbawakanmu cucu dari para majikan laki-laki ku. Mereka hanya menjadikanku pemuas nafsu mereka, aku tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya bisa pasrah dan bungkam. Ibu...maafkan aku...”

“oh ya ibu...mana anakku...??? apakah dia baik-baik saja...??? dia sehat kan...??? apa uang bulanan yang aku kirimkan masih cukup...??? aku minta maaf padamu ibu, aku kini membawa cucu baru untukmu. Belum lagi anak yang aku kandung ini, aku tidak bisa menuntut majikanku untuk bertanggung jawab padaku, baginya, aku tidak lebih dari seekor anjing yang pantas untuk dijadikan pemuas nafsu saja. Ibu...bebanmu untukku sudah cukup memilukan, aku saja sudah tidak sanggup rasanya untuk menanggung ini sendirian.”

(kembali Spot Light padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)

“apa kamu yakin ingin kembali lagi menjadi tenaga kerja...??? bagaimana kalau nanti majikanmu kali ini akan berbuat sama seperti majikanmu yang dulu...??? atau malah lebih kejam dari sebelumnya...??? aku tidak melarangmu untuk bekerja, tapi apakah kamu yakin...???”

(kembali Spot Light padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)

“ibu...apa lagi yang bisa aku lakukan...??? aku hanya perempuan yang tidak punya pendidikan, pendidikan saat ini sudah selangit harganya. Aku melakukan ini semata-mata untuk anak-anakku. Anak-anak hasil dari orang-orang yang hanya bisa berbuat dan menikmatinya saja, tapi mengelak dari tanggung jawab akan perbuatan mereka sendiri. Mereka menjadikanku tabungan anak yang hanya bisa menjadi pelampiasan, mengandung dan melahirkan. Sedikit nurani pun tidak pernah mereka berikan, tidak juga dengan uang.”

(Diam.)
(kembali Spot Light padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)

“apa yang terjadi pada anakku...??? kenapa perasaanku tidak enak...??? apa dia baik-baik saja di negeri sana...??? apa dia baik-baik saja...??? apa majikannya kali ini lebih baik dari majikannya yang dulu...??? mudah-mudahan dia baik-baik saja. Hanya dia tulang punggung keluarga, aku tidak bisa berbuat banyak lagi. Mataku telah rabun, tenagaku telah habis untuk bekerja yang berat-berat, persendian dan lututku pun sudah tidak berdaya lagi. Dan...dan bagaimana dengan cucu-cucuku nanti...??? apakah dia bisa menjadi orang...??? menjadi manusia-manusia yang bisa mandiri...??? tapi aku harap, mereka tidak seperti orang-orang di meja Elit sana. Saat ini, aku yakin, mereka sedang tertawa terbahak-bahak dan sedang berleha-leha dengan segala kecukupan yang ada.”

(kembali Spot Light padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)

“Amma’...aku dengar anakmu akan dihukum pacung. Dengar-dengar, dia membunuh majikannya. Tapi, tak tahulah Amma’, mungkin saja aku salah”

(kembali Spot Light padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)
(sedih.)

“anakku...anakku, malang betul nasibmu nak, kemarin engkau pergi karena niat ingin meringankan beban keluarga, mengurangi beban ekonomi keluarga. Kemarin lagi engkau datang, dengan cucu-cucuku lainnya, dan sekarang...sekarang...sekarang engkau akan meninggalkan Ibu, meninggalkan aku dengan anak-anakmu. Aku tahu nak engkau tidak bersalah, engkau membunuh majikanmu karena alasan-alasan yang benar. Tidak seperti mereka yang hanya mengumbar janji dan alasan-alasan tidak benar, tidak nyata. Anakku yang malang...anakku...”

“kini, aku hanya bisa mengusap nisanmu, menatapmu di balik tanah merah...”

(menangis sejadi-jadinya.)

(Spot Light Padam.)

(kembali bertingkah seperti orang gila.)

(kembali suara keramaian kota.)
(olok-olokan dari orang lain dan juga anak-anak.)

“orang gila...orang gila...”
“orang gila...orang gila...”

(mengerang.)

“apa...??? aku tidak gila...”
“kau yang gila...”
“aku tidak gila...”

(olok-olokan dari orang lain dan juga anak-anak.)

“orang gila...orang gila...”
“orang gila...orang gila...”

(menangis.)

“aku tidak gila...”
“siapa yang gila hah...???”
“siapa yang gila...???”
“siapa yang gila...???”
“kau yang gila..”
“mereka yang gila...”
“bukan aku yang gila.”

(Spot Light lain menyala.)

“apa lagi yang kau mau...???”
“kau datang lagi...???”
“kau mau mengambil kemaluanku...???”
“atau kau mau menabung lagi di rahimku...???”

(marah.)

“pergi kau...”
“kau seperti mereka, yang senang dengan penderitaan.”
“apa kau tidak punya nurani sedikit saja untuk membantu ku...???”
“minimal menafkahi keluargaku. Aku tidak punya harta yang berlimpah, dan aku pun tidak punya pendidikan tinggi.”

(semua Spot Light silih berganti menyala, tidak ada penerangan lain kecuali Spot Light.)
(melempar sesuatu)

“pergi kau...”
“jangan ganggu aku.”
“telah banyak perempuan-perempuan yang gila karenamu”
“gila karena ulahmu.”
“dan gila karena negeri ini.”
“pergi kau...”
“PERGIIIII...”
(lampu dalam panggung serentak padam dan gelap total.)
END



Tidak ada komentar:

Posting Komentar