(Monolog) Perempuan gila
(Chaerul Ashar Hamid)
Naskah ini
terinspirasi dari :
-
Drama Monolog “Tolong” karya Nano Riantiarno
-
Cerpen “Tragis” Karya Chaerul Ashar Hamid @www.sastrahitamputih.blogspot.com
(panggug
dalam keadaan terang.)
(seseorang
masuk ke panggung)
(bertingkah
orang gila, cerita sana sini tak karuan=ngalor ngidul.)
(Spot Light
di sudut panggung menyala, Spot Light ini akan terus berpindah lokasi untuk
Spot Light berikutnya. Jatuhnya cahaya tidak selalu di tempat yang sama.)
“siapa di
sana...???”
“kau
lagi...???”
“sejak kapan
kau ada di sana...???”
“hhahahahahaha...”
(suara
keramaian kota, deru mobil, klakson kendaraan, dan sirene.)
(ketakutan.)
(orang lain
berseru...)
“Orang
gila...”
“Orang
gila...”
(suara anak-anak
mengolok)
“orang
gila...orang gila...”
(menjadi
ling-lung, berjalan ke sana ke mari, tak tahu arah.)
“apa...???,
kalian mau apa...???”
(ketakutan.) “jangan ganggu aku...pergi
sana...pergi...”
“hus...hus...hhahahaha,
hus...hus...jauh dariku, pergi sana...”
(Spot Light
di sudut panggung yang lain menyala, sedang Spot Light yang tadi padam.)
‘
“siapa di
sana...???”
“kau
lagi...???”
“apa yang
kau mau...???”
(berjalan ke
arah cahaya.)
(seolah
menyentuh, dan berlari ke tempat semula dengan ketakutan.)
/“apa lagi yang kau mau...???”
“sudah tidak
ada apa-apa lagi yang bisa aku berikan. Seluruh hartaku telah engkau rampas.
Kau tahu...??? aku telah gila karena kau, aku telah gila karena uang, dan aku
telah gila karena biaya hidup di negri ini.”
(menatap
cahaya, dan menunjuk ke arah cahaya itu.) “mengapa kau hanya diam saja...???”
“kau sama
seperti mereka kan...??? kau sama seperti mereka yang duduk berleha-leha di
meja para Elit...???”
“iya
kan...??? iya...???”
“hei...aku
bicara padamu...!!!”
(orang lain
berseru...)
“Orang
gila...”
“Orang
gila...”
(suara
anak-anak mengolok)
“orang
gila...orang gila...”
(diam
sejenak)
“Aku tidak
percaya, aku tidak percaya kalau kau bukan salah satu dari mereka, buka topeng
busukmu. Aku bukan lagi perempuan biasa yang bisa kau tipu daya dengan uang.
Kau ingat...??? kau ingat...??? ketika aku harus berjuang menghidupi anakku
semata wayang, aku harus berjuang membiayai sekolahnya, kau tahu apa yang
kulakukan...??? (marah.) kau tahu apa yang kulakukan...??? aku menjadi
jalang, aku melacur, aku rela diobrak-abrik oleh mereka penikmat sesaat. Itu karena
rekan-rekanmu, rekan-rekanmu yang berpoles muka di meja Elit. Pendidikan yang
kian mahal, dan aku yang semakin menderita karena tidak punya ijasah. Aku hanya
orang desa yang mengadu nasib di kota ini, tapi hasilnya apa...??? hasilnya
apa...??? KOSONG belaka.”
(Spot Light
padam)
“kau
kemana...???”
“apa kau
lari dari kenyataan...???”
“kemana kau
pergi...???”
“hei...kau
seperti pengecut...”
“kembali
kau...”
(duduk
lesu.)
“kau sama
saja dengan mereka yang telah sibuk dengan uang korupsi mereka, mengambil yang
bukan haknya, lalu menghilang. Alasannya berobat ke singapura, padahal hanya
bersantai dan mencuci uang mereka di sana. Membeli ini lah, membeli itu
lah...apa saja di belinya. Tak tahu apa, kalau orang-orang seperti ku butuh
biaya hidup.”
(berlagak
seperti laki-laki dan seolah merokok, dan berbicara dengan dialek Batak)
“akh...seperti
artis saja kau liburan, kau itu punya tanggung jawab bung. Jangan serakahkan
uang yang bukan hak kalian. Sudah mengambil uang rakyat, kau pergi foya-foya pula.
Main golf sana sini, eh kecantol juga kau sama cewek. Sudah serakah uang,
serakah perempuan pula. Kalau ada bukit emas, aku yakin, aku yakin, kalian
semua akan berlomba-lomba menduduki puncaknya.”
“seperti
belang-nya para Elit. Berlomba-lomba menikahi kedudukan yang bisa menghasilkan
uang banyak, sembunyikan sana sini dan berkilah dengan mengkambing hitamkan
orang lain. Kalau sudah berbuat, jangan sembunyi tangan.”
(seperti
menyesali ucapannya barusan.)
“Tapi...semuanya
kan butuh uang, apa-apa uang, sedikit-sedikit uang. Apa sih di dunia ini yang
tidak dibayar dengan uang...???”
“WANI
BIRO...”
(kembali
suara keramaian kota.)
(olok-olokan
dari orang lain dan juga anak-anak.)
“orang
gila...orang gila...”
“orang
gila...orang gila...”
“hei...ada
orang gila...”
(ketakutan.)
“aku tidak
gila, aku tidak gila, yang gila adalah mereka, aku tidak gila, kalian yang
gila. Mereka yang bermain drama diteater politik. Aku tidak gila, aku tidak
gila...mereka yang gila, gila harta, gila materi, gila uang, gila kedudukan,
gila semua-nya, bahkan gila perempuan.”
(diam, dan
bernyanyi-nyanyi kecil, entah sedang menyanyikan apa. Kadang diselingi
tawa-tawa kecil.)
(Spot Light
kembali menyala di tempat lain.)
(tersenyum
sumringah.)
“hei...kau
datang lagi”
“bukan kah
kau yang tempo hari datang...???”
“bukan kah
kau yang memintaku menari telanjang di depan mu...???”
“apa kau mau
lagi...???”
(bertingkah
genit=nakal.) “ah...sudahlah,
tidak usah malu-malu... (menggoda dengan gerak tubuh)
“ayolah...kemari...kita
berbicara bantal.”
(menatap
cahaya untuk beberapa saat.)
“kau tidak
mau...???”
“benar tidak
mau...???”
“kenapa...???”
“apa aku
tidak cantik lagi...??? aku tidak seksi lagi...???”
“apa aku harus operasi plastik, agar kau mau padaku ...???”
“akankah kau
mau berdesah bantal bersamaku lagi...???”
“ayolah...hanya
kita berdua di sini...”
“tidak ada
siapa-siapa kok di sini...ayolah...”
(Spot Light
padam.)
(heran.)
“kau
kemana...???”
“kau pergi
juga...???”
“ya
sudahlah...mungkin aku memang tidak cantik lagi di matamu,”
“tapi kalau
kau mau, datang saja ya...!!!”
(bertingkah
gila)
“aku tahu
kau menghindariku, aku tak secantik dulu. Tunggulah, aku akan mengambil uang
dari deposit nasabahku, lalu aku akan mengubah tubuhku. Berapa sih biaya operasi silikon
itu...???. tidak seberapa kan...???. lagi pula, uang dari deposit nasabahku
masih banyak. Dan dengan uang itu, aku bisa membeli mobil mewah, aku bisa
membeli Ferrari, Hammer dan BMW. Bahkan aku bisa membeli harga dirimu...”
(tertawa
puas)
“hhahahahahahaha... ... ...”
“bekerja di
lingkungan pemerintah memang enak, aku bisa berbuat sesuka hatiku. Menutup bank
pun aku bisa, dan uang depositnya bisa aku jarah.” (ke arah penonton) “kalau
ada yang bertanya, aku akan berkilah bahwa aku menyelamatkan Rupiah dari
Inflasi. Berlagak seperti pahlawan. Ssst, tapi jangan kasi tahu siapa-siapa
ya...!!! ini rahasia antara kita saja.”
(duduk,
mempermainkan jemari tangan dan kaki, Mengacak-acak rambut, atau
beryanyi-nyanyi kecil.)
(seperti
berbicara dengan seseorang di sampingnya. Dalam hal ini, tidak menggunakan Spot
Light.)
“hei kawan
lama...sudah lama aku tidak melihatmu, kamu dari mana saja...??? apa kamu telah
keliling dunia...??? tidak...??? lalu kemana...???”
“oh...sabar
ya kawan...!!!”
“aku
mengerti perasaanmu, memang namamu telah hampir memudar di negeri ini. Tapi
kasian kaum sejenismu, hanya bisa disiksa dan dijadikan tenaga kerja yang hanya
diupah dengan kekerasan. Andai kau masih hidup, mungkin kita bisa merubah apa
yang telah ada di negeri ini. Mereka tidak menghargaimu sama sekali kawan. Kau
harus bersabar ya...!!! aku juga tengah berjuang untuk hidupku sendiri.”
(Kepada
penonton.) “itu tadi
kawanku, kawan seperjuanganku. Kalian kenalkan siapa dia...???”
“kalian
tidak kenal...??? betul...??? oh iya, bagaimana aku bisa lupa. Kalian kan hidup
di jaman yang serba moderen. Kalian tidak lagi mengenal Pahlawan kalian, dia
itu Kartini. Dia datang menemuiku, katanya dia rindu padaku dan menyuruhku
untuk tetap bersabar. Tapi, bersabar untuk apa coba...??? aku, perempuan yang
sudah tidak ada lagi harganya di negeri ini. Aku berjuang untuk hidup dengan
menjadi Pahlawan Devisa, tapi aku
malah tidak dihiraukan.”
(seperti
menyesali ucapannya yang barusan.) “Pahlawan
Devisa...??? Pahlawan negeri ini saja sudah tidak ada yang mengingatnya.
Semangat, kegigihan dan pantang menyerahnya di medan perang telah lapuk
termakan waktu, kering dan layu ditelan badai kemarau yang kian lama kian
menghapus kisah dan sejarah mereka. Mestinya kita bercermin pada mereka, bukan
membuat cermin itu menjadi retak dan hancur berkeping-keping.”
(duduk, dan
diam untuk beberapa saat.)
(Spot Light
lain menyala.)
“bu...aku
ingin merantau ke negeri orang. Aku sudah capek untuk berusaha di negeri ini,
aku tidak bisa berbuat banyak di sini. Aku pun sudah capek dengan menjadi
perempuan penghibur, aku sudah capek harus klimaks dengan mereka yang hanya
mementingkan diri mereka sendiri. Ibu...aku titip anakku padamu, hanya dia
milikku, permataku dan juga masa depanku. Aku akan kirimkan uang setiap
bulannya. Hasil dari keringatku di negeri orang, negeriku sendiri sudah tidak
mampu membiayai orang-orang seperti diriku.”
“ibu...berikan
aku restu dan doa mu...”
(Spot Light
yang tadi padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)
(cemas.)
“sudah sekian tahun anakku bekerja menjadi tenaga kerja di negeri orang.
Bagaimana kabar dia di sana...??? cucuku pun sudah kian bertambah usia, dan
ibunya belum juga datang menjenguknya. Apa yang terjadi dengan dirinya di
sana...???”
“ya tuhan...lindungilah anakku di perantauan sana...”
(kembali
Spot Light padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)
“ibu...aku
pulang, tapi aku tidak membawa hasil apa-apa, aku hanya mmbawakanmu cucu dari
para majikan laki-laki ku. Mereka hanya menjadikanku pemuas nafsu mereka, aku
tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya bisa pasrah dan bungkam. Ibu...maafkan
aku...”
“oh ya
ibu...mana anakku...??? apakah dia baik-baik saja...??? dia sehat kan...??? apa
uang bulanan yang aku kirimkan masih cukup...??? aku minta maaf padamu ibu, aku
kini membawa cucu baru untukmu. Belum lagi anak yang aku kandung ini, aku tidak
bisa menuntut majikanku untuk bertanggung jawab padaku, baginya, aku tidak
lebih dari seekor anjing yang pantas untuk dijadikan pemuas nafsu saja.
Ibu...bebanmu untukku sudah cukup memilukan, aku saja sudah tidak sanggup
rasanya untuk menanggung ini sendirian.”
(kembali
Spot Light padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)
“apa kamu yakin ingin kembali lagi menjadi tenaga kerja...??? bagaimana
kalau nanti majikanmu kali ini akan berbuat sama seperti majikanmu yang
dulu...??? atau malah lebih kejam dari sebelumnya...??? aku tidak melarangmu
untuk bekerja, tapi apakah kamu yakin...???”
(kembali
Spot Light padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)
“ibu...apa
lagi yang bisa aku lakukan...??? aku hanya perempuan yang tidak punya
pendidikan, pendidikan saat ini sudah selangit harganya. Aku melakukan ini
semata-mata untuk anak-anakku. Anak-anak hasil dari orang-orang yang hanya bisa
berbuat dan menikmatinya saja, tapi mengelak dari tanggung jawab akan perbuatan
mereka sendiri. Mereka menjadikanku tabungan anak yang hanya bisa menjadi
pelampiasan, mengandung dan melahirkan. Sedikit nurani pun tidak pernah mereka
berikan, tidak juga dengan uang.”
(Diam.)
(kembali
Spot Light padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)
“apa yang terjadi pada anakku...??? kenapa perasaanku tidak enak...??? apa
dia baik-baik saja di negeri sana...??? apa dia baik-baik saja...??? apa
majikannya kali ini lebih baik dari majikannya yang dulu...??? mudah-mudahan
dia baik-baik saja. Hanya dia tulang punggung keluarga, aku tidak bisa berbuat
banyak lagi. Mataku telah rabun, tenagaku telah habis untuk bekerja yang
berat-berat, persendian dan lututku pun sudah tidak berdaya lagi. Dan...dan
bagaimana dengan cucu-cucuku nanti...??? apakah dia bisa menjadi orang...???
menjadi manusia-manusia yang bisa mandiri...??? tapi aku harap, mereka tidak
seperti orang-orang di meja Elit sana. Saat ini, aku yakin, mereka sedang tertawa
terbahak-bahak dan sedang berleha-leha dengan segala kecukupan yang ada.”
(kembali
Spot Light padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)
“Amma’...aku dengar anakmu akan dihukum pacung.
Dengar-dengar, dia membunuh majikannya. Tapi, tak tahulah Amma’, mungkin saja
aku salah”
(kembali
Spot Light padam dan digantikan dengan Spot Light lain.)
(sedih.)
“anakku...anakku, malang betul nasibmu nak, kemarin engkau pergi karena
niat ingin meringankan beban keluarga, mengurangi beban ekonomi keluarga. Kemarin
lagi engkau datang, dengan cucu-cucuku lainnya, dan
sekarang...sekarang...sekarang engkau akan meninggalkan Ibu, meninggalkan aku
dengan anak-anakmu. Aku tahu nak engkau tidak bersalah, engkau membunuh
majikanmu karena alasan-alasan yang benar. Tidak seperti mereka yang hanya
mengumbar janji dan alasan-alasan tidak
benar, tidak nyata. Anakku yang malang...anakku...”
“kini, aku hanya bisa mengusap nisanmu, menatapmu di balik tanah merah...”
(menangis
sejadi-jadinya.)
(Spot Light
Padam.)
(kembali bertingkah
seperti orang gila.)
(kembali
suara keramaian kota.)
(olok-olokan
dari orang lain dan juga anak-anak.)
“orang
gila...orang gila...”
“orang
gila...orang gila...”
(mengerang.)
“apa...???
aku tidak gila...”
“kau yang
gila...”
“aku tidak gila...”
(olok-olokan
dari orang lain dan juga anak-anak.)
“orang
gila...orang gila...”
“orang
gila...orang gila...”
(menangis.)
“aku tidak
gila...”
“siapa yang
gila hah...???”
“siapa yang
gila...???”
“siapa yang
gila...???”
“kau yang
gila..”
“mereka yang
gila...”
“bukan aku
yang gila.”
(Spot Light
lain menyala.)
“apa lagi
yang kau mau...???”
“kau datang
lagi...???”
“kau mau
mengambil kemaluanku...???”
“atau kau
mau menabung lagi di rahimku...???”
(marah.)
“pergi
kau...”
“kau seperti
mereka, yang senang dengan penderitaan.”
“apa kau
tidak punya nurani sedikit saja untuk membantu ku...???”
“minimal
menafkahi keluargaku. Aku tidak punya harta yang berlimpah, dan aku pun tidak
punya pendidikan tinggi.”
(semua Spot
Light silih berganti menyala, tidak ada penerangan lain kecuali Spot Light.)
(melempar
sesuatu)
“pergi
kau...”
“jangan
ganggu aku.”
“telah
banyak perempuan-perempuan yang gila karenamu”
“gila karena
ulahmu.”
“dan gila
karena negeri ini.”
“pergi
kau...”
“PERGIIIII...”
(lampu dalam
panggung serentak padam dan gelap total.)
END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar