Cerpen
JEJAK SEPATU
Karya: Ulfa Aulia
Aku berada diantara teman-temanku. Kami berjajar rapih di
rak toko. Kami menunggu seseorang yang membuat kami berguna. Aku menemukan
pemiliku yang telah lama aku tunggu. Aku dibawanya dengan riang, dibawa kemana
pun kaki kecilnya melangkah mengukir jejak yang tak pernah ku duga. Tawa dan
tangisnya nya selalu mengiringi kami berdua menjelajah dunia ini.
Aku
semakin akrab dengan anak ini. Aku mendapatkan pemandangan menarik darinya. Kami
menghabiskan waktu bersama setiap hari. Aku selalu tidak sabar menuggu dia
keluar rumah dan mengajakku berkeliling. Saat aku menunggunya, aku berbincang
dengan sejenisku di rak sepatu.
“
Mengapa aku tak pernah melihatmu digunakan lagi, dan mengapa kau begitu
berantakan ?” tanyaku pada sepatu tua.
“Nak
semua itu ada waktunya, waktu ku telah habis, aku hanya menunggu kapan ku
dibuang di tempat sampah. Tapi aku sama sekali tak bersedih karena ku telah
berguna.” Jawab si sepatu tua.
Aku
belum begitu mengerti apa yang dikatakan sepatu tua itu. Aku yang masih baru
selalu dirawatnya, digunakannya dengan hati-hati, dan membersihkan diriku bila
kotor. Setiap hari aku dibawanya menuju sekolah tempat ia belajar.
Disepanjang
jalan menuju sekolah aku selalu menyaksikan pemandangan luar biasa yang hanya
ku dengar dari teman-temanku saat ku masih terpajang di toko. Pengemis
bertebaran di lampu merah, orang gila berkeliaran di sudut-sudut kota, pedagang
kaki lima menjajah tempat pejalan kaki, dan pengamen menambah riuh kota yang
padat. Aku terus diajaknya melihat fenomena yang belum pernah ku lihat. Aku tercengang melihat
pemandangan itu untuk pertama kalinya, tapi seiring langkah kaki kecil nya yang
terus melewati jalan yang sama. Aku terbiasa melihat kejadian-kejadian itu.
Hampir setahun berlalu aku mulai merasakan ada
yang berbeda. Aku tak lagi dirawatnya, aku tak lagi di bersihkannya, hingga
badanku penuh luka dan lusuh. Aku masih tergeletak di rak sepatu. Aku pun sudah
tak melihat sepatu tua yang dulu ku ajak berbincang. Menjelang petang aku masih
belum dipakainya. Keesokan paginya aku melihat anak itu sedang berlari riang,
tapi dia meninggalkanku disini. Sepatu baru telah terpasang di kakinya yang
kini bertambah besar.
Kini
ku sadar apa yang dimaksud sepatu tua itu. Hidup itu tak lepas dari kata “perpindahan” anak itu akan terus tumbuh, dan aku
pun tak dibutuhkannya lagi. Sekarang aku bisa merasakan apa yang dirasakan
sepatu tua itu. Tak ada rasa benci, aku sangat bahagia karena aku telah berguna
walau sekarang aku hanya bisa melihat dan terus- melihatnya tumbuh besar.
“
Kamu sedang menulis apa sayang,” tanya ibu Dodo
“Dodo
sedang menulis cerpen judulnya Jejak
Sepatu Bun.” Jawab Dodo dengan santai.(ulfa)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar